Naek naek ke puncak gunung
Tinggi tinggi sekali…

Saat Joel nyanyi lagu itu di masa kecil, nggak kebayang Joel bakal naik ke puncak tertinggi di Afrika, 5896m!
Padahal Joel kan orange nggak sporty, n kurang stamina, n punya penyakit asma lagi!
Joel berani mutusin tuk naek, karena Joel mengenang kejayaan Joel berhasil naek Gunung Fuji di Jepang yang tingginya 3330m, n karena Joel baca guide book kalo manjat Gunung Kilimanjaro itu kayak hiking, persis seperti waktu manjat Gunung Fuji!
Joel bangga berhasil manjat Gunung Fuji, karena dari 6 orang rombongan, hanya Joel n seorang temen cewek yang berhasil sampe puncak. Sedang temen Joel yang laen, menyerah di tengah jalan.
Padahal kalo Joel mau jujur, buanyak sekali waktu itu orang yang berhasil sampe puncak, mungkin ribuan!
Dari anak2 umur belasan tahun, sampe kakek nenek yang umurnya hampir seratus!

Dalam rangka ekspedisi ke Kilimanjaro ini, Joel tiba di Arusha, kota di sebelah timur negara Tanzania di Afrika Timur.
Joel berangkat bersama satu temen masa kecil Joel, si Goes.
Kami menyewa seorang guide, dan 5 orang staff, termasuk porter atau tukang angkut barang, koki, dan asisten guide.

Kami tiba agak siang di pintu naek gunung, Marangu Gate, karena mobil yang membawa kami ke gate di ketinggian 1970 m itu sempet mogok.
Semua perlengkapan untuk naek gunung, kami sewa di penyewaan deket Gate itu. Sepatu bot, tongkat, head light, jaket, sweater dan laen2nya.
Soalnya kami bener2 berniat hiking, n nggak nyiapin peralatan satupun waktu terbang ke Tanzania.

Ada lebih dari lima rute untuk mencapai puncak Kilimanjaro.
Karena kami bener2 amatiran n nggak konfiden, kami pilih rute yang paling gampang, Marangu Route.
Rute ini bisa ditempuh selama 5 hari atau 6 hari.
Kami putusin untuk menempuhnya dalam 5 hari.
Keputusan 5 hari atau 6 hari itu harus kami ambil sebelum naek gunung n nggak bisa diganti!

Sekitar jam 2 siang, akhirnya kami memulai petualangan kami yang penuh penderitaan….hehe…
Porter kami, berangkat terlebih dahulu, mengangkut barang2 kami juga bekal makanan dan air selama 5 hari.
Agak nggak tega juga, melihat mereka mengangkut berat barang sebanyak itu…
Setuju ama kata2 yang tertulis di kartu pos, mereka itu lah yang disebut The Heroes of Kilimanjaro.

Tujuan kami di hari pertama adalah mencapai pondok gunung yang namanya Mandara Hut di ketinggian 2700 m.
Kami mulai memasuki hutan tropis yang hijau.
Menapaki jalan setapak dikelilingi lebat kehijauan.
Melewati beberapa air terjun kecil.
Kami berpapasan juga dengan orang2 yang baru turun gunung.
Di antaranya kami berpapasan dengan rombongan kakek nenek dari Jepang, yang keliatannya dah berumur 60 sampe 70 tahun.
“Sampe puncak, San?” tanya Joel yang fasih bahasa Jepang.
“Nggak kok, cuman sampe Kibo Hut, 5000 m,” jawab seorang kakek.

Pertemuan ini membuat hati kami besar!
Masak kakek nenek yang hidup 2 kali lebih lama dari kami aja bisa mencapai 5000 m, pasti kami bisa mencapai puncak!

Kami juga sempat bertemu dengan penghuni asli hutan ini, beberapa monyet berbulu lebat nan molek!

Setelah berjalan hampir 4 jam, akhirnya tiba juga di Mandara Hut, tempat kami tidur di malam pertama.
Si Goes, temen Joel, orangnya lucu n agak aneh.
Syarat dia mau ikut manjat gunung itu ada dua:
1. tiap hari bisa mandi air
2. tiap hari bisa makan daging
Dia bersedia bayar lebih ke guide kita untuk membawa daging dan air extra.
Jadi setibanya di Mandara Hut, para porter kita yang sudah tiba di sana beberapa saat sebelumnya, memasak air hangat buat mandi kita.
Mereka juga memasak makan malam kita, tentu dengan menu daging, permintaan si Goes!

Kami bangun pagi2 untuk melanjutkan perjalanan di hari kedua.
Tujuan kami di hari kedua adalah mencapai pondok gunung berikutnya, Horombo Hut di ketinggian 3700 m.
Lama perjalanan diperkirakan 7 jam, dan jarak yang ditempuh 11 km.
Tapi yang bikin kaget itu, dalam satu hari itu, kami harus naik 1000 m!
Hampir 2 kali lipat dari yang disarankan dokter2 supaya tidak terkena High Altitute Sickness, penyakit ketinggian!

Pemandangan hari kedua ini berbeda dengan hari pertama.
Tidak sehijau hutan tropis, tapi agak jarang pohon, seperti hutan sub-tropis.
Di kejauhan tampak padang rumput, juga pohon2 seperti kaktus dan pinus.
Di tengah jalan, dari dataran terbuka, kami melihat di kejauhan, gunung bertopi putih berdiri tegak dan gagahnya di depan kami, selayak berkata, “Inilah aku. Berani kau menantang dan menaklukan aku?!”

Kami berhenti di tengah jalan untuk makan siang ditemani gagak2 gunung.
Makan siang kami sandwich dengan pisang dan telur rebus, yang disiapkan koki kami.
Di perjalanan selanjutnya, kami banyak bertemu juga dengan orang2 yang turun gunung.
Setiap berpapasan dengan orang, kami meniru sapaan orang lokal, “Jambo!”, artinya “Halo”, jawabnya juga “Jambo”.
Atau bilang “Mambo”, yang dijawab dengan “Poa”.
Bahasa Swahili, kedengarannya lucu dan gampang dihafal.
Teringat ama frase terkenal bahasa Swahili di film karton Disney, Lion King, “Hakuna Matata”, yang artinya “No problem”.

Joel udah mulai kelepokan, capek jalan, naek gunung.
Tapi temen Joel, si Goes masih gesit, sambil loncat2 kecil berjalan melesat.
Melihat Joel kepayahan dan mulai pake tongkat (si Goes belon mengeluarkan tongkatnya), dia kasihan dan menawari bawain bekal air Joel.
Dengan senang hati Joel memberikan air Joel 4 liter ke dia.
Karena sungkan, akhirnya Joel suruh dia jalan dulu, biar Joel jalan pelan dan santai di belakang ae.
Joel memang sering dijuluki si “Going my way” atau “my pace”, atau kasarnya “semau gue”… J

Akhirnya kita sampe di pondok gunung kedua, Horombo Hut sore sore.
Sudah banyak orang di Horombo Hut.
Ada yang dalam perjalanan naek, ada juga yang dalam perjalanan turun, sebab dalam perjalanan turun, orang juga menginap semalam di sini.
Ada juga orang yang menginap 2 malam di sini, hanya untuk aklimatisasi, menyesuaikan kondisi tubuh dengan ketinggian gunung, untuk mencegah terserang High Altitude Sickness.

Waktu makan malam, kami sempat ngobrol dengan orang2 seperjuangan, denger cerita pengalaman mereka yang sudah mencapai puncak.
Ada sepasang suami istri dari Jepang, yang dalam rangka bulan madu, bersaksi bahwa mereka sempat terserang penyakit ketinggian ini ketika hampir mencapai puncak.
Tapi mereka memaksakan diri sambil pusing2 dan muntah2, sampe minta didorong ama guide mereka, akhirnya sampe di Gilman’s Point, di ketinggian 5680 m.
Tujuan akhir Rute Marangu ini bisa Gilman’s Point, atau dilanjutkan sampe Uhuru Peak di ketinggian 5896 m.
Mendengar cerita mereka, kami sempat kawatir, dan mulai minum obat Diomax, obat mata yang konon bisa mencegah penyakit ketinggian ini.

Hari ketiga pemanjatan, kami harus berjalan hampir sepuluh jam untuk mencapai rumah gunung terakhir, Kibo Hut, di ketinggian 5000 m.
Seperti hari sebelumnya, kami bangun pagi2.
Si Goes, gila, meski hawa sedingin kulkas, tetep mandi pagi, pake air dingin lagi.

Rerumputan and pohon pinus mulai berkurang jumlahnya seiring ketinggian yang kami capai.
Akhirnya kami mencapai daerah yang benar2 gersang, tak tampak hehijauan sepucuk pun.
Teringat gurun di Gunung Bromo, atau gersan di Gunung Fuji.
Dibandingkan hari kedua, rute di hari ketiga nggak terlalu curam penanjakannya, hanya jarak yang ditempuh lebih jauh.
Seperti hari2 sebelumnya, si Goes berjalan mendahului kami.
Kami sempat menuruni gunung, dan menempuh dataran gurun gersang untuk menuju puncak di ujung satunya.
Di tengah tengah gurun itu, kami istirahat dan makan siang, lagi ditemani gagak berkalung putih dan tikus bermata sipit.
Kami melewati tempat yang disebut Last Water Point, karena setelah melewati tempat itu, air kan nggak bisa ditemui lagi!

Setelah menempuh gurun datar sekitar 3 km, rute kami mulai menanjak lagi.
Butir2 putih dari atas melayang layang turun, salju!
Tidak terasa kami telah mencapai ketinggian 5000 m!
“Tidak terasa” karena kaki telah hilang rasa, capek bukan maen.

Kibo Hut tampak berdiri di atas batu karang gersang.
Karena rumah gunung itu terletak setelah Last Water Point, tak ada air setetes pun yang bisa disediakan di rumah gunung itu.
Bisa dibayangkan gimana toiletnya…

Toilet itu dibangun di ujung tebing dengan meletakkan papan dasarnya menjorok ke tebing jurang.
Jadi semua tandas, langsung drop jatuh ke batu2 gersang jauh di bawah sana.
Sayangnya, karena nggak ada pesawahan, buangan itu nggak bisa direcycle, kayak yang dilakukan di pedesaan Cina!

Kecapean, Joel langsung merebahkan diri di atas dipan tempat tidur.
Langsung pulas, sampe asisten guide kami membawa baskom berisi air panas untuk cuci muka.
Sejam berikutnya, kami harus makan malam dan tidur lagi sampe jam 11 malam, karena kami harus berangkat menuju ke puncak mulai jam 12 malam, supaya bisa melihat matahari terbit dari puncak gunung.

Karena kedinginan, Yul harus keluar kamar berkali-kali untuk ke toilet.
Padahal toilet itu, mungkin karena untuk menghindari bau, letaknya agak jauh dari bangunan kamar kami.
Cuaca di gunung itu cepat berubah.
Keluar dari kamar menuju toilet waktu turun salju, waktu kembali ke kamar udah mentari menampakkan diri lagi.

Entah karena terlalu exciting untuk melihat puncak gunung, atau karena perut terlalu kenyang, atau karena pengaruh penyakit ketinggian, Joel nggak bisa nyenyak tidur.

Akhirnya waktu menunjukkan pukul 11 malam.
Guide kami datang untuk membangunkan kami.
Menyediakan teh n snak, dan menyuruh kami siap2.

Kebetulah di saat yang sama, selain kami ada 2 group lain.
Group pertama terdiri dari sepasang suami istri keturunan India yang sudah jadi warga negara Kanada.
Group kedua, hanya terdiri dari seorang gadis Swiss berumur 23 tahun.

Bersama dengan 2 group itu, kami keluar dari Kibo Hut.
Malam gelap gulita.
Kami menyalakan head light dan mulai menanjak.
Kami berbaris dan berjalan pelan pelan, zig zag, supaya nggak terlalu menanjak…
Guide kami berjalan paling depan, terus si Goes, Joel, n paling belakang si asisten guide.
Bener bener imut imut kami berjalan.
Meski tak sabar pengin jalan lebih cepat, kami sadar kalo kami harus menghemat tenaga…

Baru berjalan 15 menit, si Goes mulai muntah muntah...
Guide kami menginstruksikan berhenti sampe si Goes pulih…
Setelah selesai muntah, si Goes mengeluh, kalo dia bahkan nggak bisa menyuruh kakinya melangkah!
Si kaki nggak nurutin lagi perintah si empunya!
Si Goes memaksakan diri melangkah dengan menggunakan tongkat dan lengannya.
Akhirnya dia kecapean, dan setelah muntah kesekian kalinya, dengan berat hati, dia memutuskan untuk kembali turun…
Joel sedih banget melihat si Goes yang desperate….
Tuh gara2 dia keras kepala, mandi air dingin di ketinggian 4000m!
Akhirnya dia kena kompleks penyakit ketinggian dicampur flu.

Guide kami menginstruksikan si asisten tuk membawa si Goes turun kembali ke Kibo Hut.
Berdua, Joel dan si Guide, melanjutkan perjuangan kami.

Jalan semakin terjal.
Kering kerikil, mudah sekali longsor.
Langit terasa dekat.
Penuh dengan gemerlap bintang, dan terang bulan.
Cantik sekali.
Tapi Joel nggak bisa menikmati lagi kemolekan alam itu.
Joel kepayahan.
Dingin dan capek.
Sesak nafas karena tipisnya oksigen.

Berjalan dua tiga langkah, Joel dah kepayahan n berhenti.
Asma Joel kambuh.
Susah ambil nafas.
Sampe Joel pikir, inikah ajal Joel?

Meski susah payah n berhenti berhenti, Joel tetep jalan
Sambil makan coklat sumber energi, dan minum air yang mulai membeku…
Joel bahkan sempat kebelet dan meninggalkan kenang-kenangan di gunung ini…

Di sana sini, tampak batu2 besar.
Berwarna putih diselimuti salju yang sudah jadi es.

Saking pelannya jalan Joel, sampe si Guide merasa bosan dan tak sabar.
Sempat dia tidur2an nunggu Joel.
Joel sampe merasa dendam ma ni orang.
Nggak bisa ngerasain penderitaan orang yang dah kayak sekarat ini.
Tiap berjalan dua tiga langkah, Joel berhenti ambil nafas.
Tu pun susah banget.
Meski dah hirup sekuat mungkin, dada masih terasa sesak kurang oksigen.

Akhirnya akhirnya, Joel sampe ke puncak yang bernama Gilman’s Point.
Puncak pertama dari Marangu Route.
Joel bersorak sorai
Merdeka! Sambil melambaikan 2 tangan ke atas tanda kemenangan.

Joel bener2 berada di atas awan.
Dan dikelilingi salju puncak gunung.
Meski angin bertiup kencang dan dingin menusuk tulang.
Perasaan gembira Joel memberikan kehangatan dalam hati.

Sang surya pun mulai menampakkan dirinya...
Betapa indahnya....
Segala susah payah dan penderitaan.
Terasa terbalas dan tak sia sia…

Meski Joel hanya merasakan keindahan ini selama 10 menit.
4 hari penderitaan dan capek terasa tak berarti.

Si Guide nawarin Joel apa mau lanjut ke Uhuru Peak, puncak tertinggi di Africa atau nggak.
Tentu saja Joel yang serakah, n nggak mudah putus asa mau maju.
Cuman berjalan sejam lagi, Joel bisa mencapai puncak tertinggi di Africa!
Bukan Joel kalo berhenti di situ.

Ternyata perjalanan sejam berikutnya tak semudah yang Joel bayangin.
Jalan di atas salju, yang kadang dah membeku jadi es.
Licin kadang terpeleset.
Ngeri di kanan kiri ada jurang.
Joel nggak bisa mbayangin gimana kalo Joel terpeleset,
Meluncur ke bawah di lereng bersalju itu.
Pasti nggak tertolong deh.

Bukan hanya jalan licin dan bertepian jurang saja,
Angin pun terjang menerpa, membawa hawa dingin menusuk badan.
Silau salju pun membakar mata.

Salju semakin tebal, membuat susah tuk melangkah.
Setelah melewati dua tiga puncak, Joel melihat papan bertulisan
Uhuru Peak, the highest point in Africa!
Hip hip hura!
Joel berteriak merdeka lagi.

Pemandangan sekeliling mengagumkan.
Tampak beberapa glacier, juga Gunung Kenya di kejauhan.
Impian Joel tercapai.
Meski badan dah tidak bisa merasa.
Dingin capek dan silau.

Dalam perjalanan turun pulang yang nggak kalah menyiksa kaki.
Joel terus menggumam dalam bahasa Jawa Suroboyo.
“Sekel sengkleh!”